Cyber Security – Perempuan memiliki peranan krusial dalam kepemimpinan keamanan siber yang dapat disoroti dalam tantangan yang mereka hadapi, peluang yang dapat mereka manfaatkan, dan praktik terbaik untuk mendukung kepemimpinan mereka. Meskipun perempuan memiliki potensi yang signifikan dalam bidang ini, mereka kerap dihadapkan pada tantangan struktural seperti bias gender, stereotip sosial, disparitas dalam akses pendidikan, serta keterbatasan dalam memperoleh bimbingan profesional (mentor). Namun, dengan pendekatan inklusif, inisiatif pemberdayaan, dan kebijakan yang mendukung kesetaraan gender, perempuan dapat memberikan kontribusi signifikan dalam menjaga keamanan siber. Dalam memberdayakan perempuan pada keamanan siber, penulis telah mengidentifikasi praktik terbaik seperti program mentoring, pelatihan berkelanjutan, dan kebijakan inklusif. Dengan mengatasi tantangan dan memanfaatkan peluang, perempuan dapat menjadi pemimpin yang strategis dalam menghadapi dan mengantisipasi berbagai dinamika serta ancaman dunia digital yang terus berkembang.
Di era digital terus berkembang secara masif, keamanan siber telah menjadi salah satu isu utama yang dihadapi oleh organisasi, pemerintah, dan masyarakat secara keseluruhan. Ancaman siber yang kompleks dan beragam, seperti serangan malware, peretasan data, phising, dan ransomware, menuntut langkah-langkah yang inovatif dan terarah untuk melindungi informasi sensitif dan infrastruktur digital dari kerusakan dan eksploitasi.
Dalam menghadapi tantangan ini, kepemimpinan dalam bidang keamanan siber menjadi semakin penting. Namun, dalam tradisi yang dominan oleh kehadiran laki-laki, peran dan kontribusi perempuan dalam kepemimpinan keamanan siber seringkali belum mendapatkan atensi yang cukup. Meskipun demikian, perempuan memiliki potensi besar untuk membawa perspektif yang beragam, kreativitas, dan kemampuan pemecahan masalah yang diperlukan untuk menghadapi ancaman siber yang semakin kompleks.
Di Indonesia sendiri sudah banyak tokoh perempuan yang berhasil mendobrak stigma keterbatasan perempuan dalam memimpin masyarakat, dimulai dari R.A. Kartini, Presiden Megawati, keterwakilan Menteri Perempuan seperti Sri Mulyani, Retno Marsudi, Susi Pudjiastuti dan Meutya Hafid. Namun, representasi pemimpin perempuan di bidang keamanan siber masih minim sehingga perlu dikaji lebih mendalam.
Dewasa kini, peran perempuan dalam kepemimpinan keamanan siber mulai bergeser menempati posisi yang lebih signifikan. Hal ini didorong juga dari banyaknya penelitian ilmiah terkait peranan perempuan guna kesetaraan seperti yang dilakukan oleh world wide web foundation (2020), peranan wanita di teknologi media digital Indonesia oleh Stephani (2018), Pengembangan karir wanita di bidang keamanan siber (2010), Faktor dan keahlian personal yang dibutuhkan dalam pengembangan karir perempuan (2023), serta faktor dan pengalaman yang perlu disiapkan bagi pelajar perempuan yang akan berkarir di bidang keamanan siber (2023), dan banyak lagi.
Meskipun selama ini konstruksi sosial di Indonesia menjadikan kaum pria mendominasi keamanan siber, tetapi banyak perempuan yang mencoba mendobrak paradigma dan menciptakan iklim sosial yang baru dengan eksistensi kepemimpinan perempuan. Perempuan di posisi kepemimpinan ini tidak hanya memiliki keahlian teknis yang dibutuhkan industri keamanan siber, tetapi mereka juga menawarkan perspektif yang berbeda dan inovatif dalam menghadapi tantangan keamanan digital. Peran mereka semakin penting mengingat kompleksitas ancaman siber yang terus berkembang dan kebutuhan untuk solusi yang lebih holistik dan inklusif.
Dibandingkan dengan sektor industri lain, seperti hukum, akuntansi, dan kedokteran, peran serta perempuan dalam industri keamanan siber masih sangat rendah. Berdasarkan artikel yang ditulis oleh Nate Nelson, peran perempuan di sektor hukum, akuntansi, dan kedokteran tercatat sebanyak 53%, 46%, dan 37%. Persentase ini sangat jauh lebih besar dibandingkan persentase peran perempuan di sektor keamanan siber, yang menurut penelitian terbaru dari ISC2, angka keterlibatan perempuan di sektor keamanan siber hanya mencapai 20% hingga 25% . Hal ini dapat diartikan bahwa di tahun 2024 ini, sedikitnya 3 dari 4 profesional keamanan siber adalah laki-laki.
Kurangnya keterwakilan perempuan dalam bidang keamanan siber juga terjadi pada Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), yang merupakan lembaga negara yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang keamanan siber dan sandi di Indonesia. Tercatat hingga saat ini, keterwakilan pemimpin perempuan dalam struktur jabatan di BSSN hanya 3 posisi dari 58 jabatan struktural atau sekitar 5%.

Tabel: Disparitas gender di bidang keamanan siber global
Penelitian ISC2 juga menunjukkan bahwa perempuan profesional keamanan siber terus berjuang untuk mendapatkan kompensasi yang adil, sebuah isu yang tidak hanya terjadi di industri ini. Di AS misalnya, kesenjangan upah tidak banyak berubah dalam dua dekade terakhir, dan secara global, kesenjangan upah berdasarkan gender mencapai sekitar 20%. Berdasarkan data dari Microsoft Digital Defense Report 2023, dari hasil survey terhadap 27 negara di 5 benua diketahui bahwa disparitas gender di bidang keamanan siber masih didominasi oleh laki-laki dengan range 18%-25%, Indonesia sendiri menduduki peringkat 6 dengan persentase sekitar 21%-22%.
Kendati demikian, ketimpangan representasi gender dalam bidang keamanan siber masih menjadi tantangan yang perlu diatasi secara sistematis.